Hai. Ini mungkin malam kesekian yang mana aku sedang mengalami yang namanya "jatuh". Seperti biasa, ketika sedang merasa seperti ini, aku sharing ketemanku, Andaru. Sebelum aku sharing, ritual yang aku lakukan adalah marah-marah. Ya, memarahi dia. Alhamdulillah dia masih sabar menerima ocehan dan marah ku.
Ok, disini aku tidak sedang menceritakan tentang sharing-ku ke Andaru, tapi aku disini mau menuliskan apa yang ada dipikiran dan hatiku. Agak sulit sebenarnya aku mau menulis karena fase dimana kau merasa sangat "jatuh" sudah berlalu beberapa jam yang lalu. Disini aku ingin bercerita tentang bagaimana aku bisa merasakan hal tersebut.
Memiliki orang tua yang begitu dikenal, pemimpin sukses, dan bisa membuat perubahan sangat bangga untuk dijadikan contoh dan ditiru. Memiliki teman dekat yang baik, cerdas dan pintar, dan bisa mendorong teman dekat lainnya ke arah yang baik merupakan hal yang sangat menguntungkan dan patut untuk dipertahankan. Terlibat dalam komunitas yang di dalamnya bertemu dengan para mentor yang sukses dibidangnya dan anggota komunitas yang pintar, wah sangat menginspirasi dan mendorong diri untuk visioner sukses dikemudian hari.
Aku senang. Sangat bersyukur bisa hadir dilingkungan yang positif dan dikelilingi oleh orang yang cerdas, menginspirasi, sukses, dan sebagian dari mereka memberikan kontribusi nyata kepada orang banyak. Lalu salahnya dimana?
Tidak tahu kenapa, di sisi lain aku merasa sangat senang dan beruntung tapi di sisi lain aku malah menjadi orang yang menuntut diri agar bisa seperti mereka. Benar, aku benar-benar bersyukur karena mereka begitu menginspirasi sehingga aku memiliki visi hidup ingin menginspirasi banyak orang dengan perjalanan karirku yang begitu baik dan membawa perubahan bagi perusahaan serta orang banyak, tetapi ini menyiksa batinku sendiri. Awalnya aku menuntut diriku untuk bisa bersaing dengan teman-temanku, lalu aku kembali menuntut diriku bahwa aku bisa seperti Papa dan mentor-mentor di komunitas dan bahkan aku menuntut diriku melebihi mereka. Aku menuntut diriku bahwa aku harus berkarir untuk menyaingi mereka, tapi disamping memiliki ambisi yang tinggi aku juga memiliki rasa ketidakpercayaan diri yang tinggi. Aku sering merasa "apa sih kelebihan kamu? Pintar juga nggak. Bisa membaur dengan orang banyak juga nggak. Punya segudang networking juga nggak. Jago bahasa inggris juga nggak. Cantik langsing juga nggak. dst dst dst....". Itu terus terus dan terus sehingga aku malah menyalahkan diriku sendiri. Aku yang nggak bisa ini aku yang nggak bisa itu aku yang nggak menarik.
Perasaan minder dan terus-menerus menyalahkan diri membuatku menjadi manusia pengeluh. "Pantas aja nggak keterima kerja, aku kan bodoh. Kebanyakan aku bisa sampai tahap interview sebelumnya tanpa melewati pengiriman CV. Coba lihat semua CV yang aku kirim? Nggak ada kan yang lolos?" "Tuh bener kan gara-gara aku gendut makanya aku nggak lolos medical check up. Susah banget sih buat kurus. Olahraga udah. Makan juga nggak seabrek kayak dulu. Makan nasi juga udah nggak. Emang dasarannya aja fisikku jelek.". Pikiran itulah yang cukup sering terngiang di kepala. Aku sampai merasa tidak adil melihat orang yang sekali dua kali naruh lamaran langsung mendapat pekerjaan sedangkan aku sudah puluhan lamaran tidak juga ada yang menawarkan. Hal tersebut yang membuat aku sedih dan semakin "jatuh".
Sampai pada akhirnya malam ini. Malam dimana aku sharing ke Andaru. Apa aku sebegitu jeleknya? Apa aku sebegitu rendah kualitasnya?
"Lihat orang-orang sukses disana. Nggak ada yang mudah awalnya, gendut." Itulah yang dia ucapkan ketika aku sedang menangis terisak dan terus menerus menyalahkan diriku.
"Cobalah berpikiran positif. Mungkin saja kalau kamu dapat pekerjaan sekarang kamu akan jadi manusis yang sombong."
"Jadi maksud kamu aku ini selamanya akan jadi manusia sombong? Dina si manusia sombong."
"Bukan, gendut. Aku minta kamu untuk sabar."
"Bagaimana caranya aku sabar? Jadi aku harus diam saja? Iya?"
"Apa visi kamu harus melalui jadi wanita karir? Kamu bisa ikut training di John Robert Power, terus kamu bisa les bahasa inggris. Katanya kamu mau sekolah keluar negeri? Mana blog kamu? Masih aktif nggak? Kenapa kamu nggak menulis lagi?"
"Aku nggak pede dengan tulisanku. Tulisanku jelek, nggak bermakna"
"Apa peduli orang? Kenapa peduli orang lain?"
Dari situ aku diam. Kalau ingin menginspirasi banyak orang tidak selalu melalui karir. Tidak selalu harus bekerja di perusahaan. Aku bisa menginspirasi banyak orang, aku bisa sukses, aku bisa maju dengan cara yang berbeda. Buat apa aku bersedih? Yang bisa dilakukan dari seorang Dina adalah kemauan untuk berubah dengan cara yang lain dan mau bergerak untuk berubah. Allah akan memberikan rezeki sesuai usaha yang dikerjakan umat-Nya dan Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan kadar kemampuan umat-Nya.
Jadi, tidak boleh merasa iri dengan orang lain. Berhentilah bersaing di dunia, tapi bersainglah untuk akhirat. Sekarang aku harus semangat, kalau tidak dapat bekerjaan di perusahaan aku harus berubah dengan cara ikut kelas-kelas pengembangan skill, kursus bahasa inggris, membaca biografi orang sukses di Indonesia dan coba untuk membangun networking dengan mereka.
Semangat.....