INTRODUCTION
Hijab
merupakan suatu kain yang menutupi kepala pada wanita. Hijab juga merupakan
suatu simbol yang menandakan bahwa wanita tersebut adalah seorang muslimah.
Arti dari hijab memiliki banyak makna di dalam kamus dan di dalam Qur’an. Ada
yang mengatakan bahwa hijab merupakan sebuah proteksi yang dapat menjaga
seorang wanita dari pelecehan (Beik, 2007). Menurut pengertian lain juga hijab
merupakan suatu hal yang dapat mencegah, menghindar, atau menghalangi dengan
cara berkerudung, membungkus, menutupi, atau melindungi karena untuk mencegah
pandangan atau perhatian (Lane, 1984). Di dalam Qur’an, konsep mengenai hijab
itu sendiri memiliki makna ganda yaitu tidak hanya sebagai pelindungi tetapi
juga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan (Ruby, 2005). Di dalam
islam, mengenakan hijab bagi wanita yang telah akil baligh merupakan hal yang
wajib. Sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Qur’an yaitu surat an-Nur ayat
31:
“(Wahai
Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman agar mereka
menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak darinya.
Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (sehingga dada
mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali untuk
suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka atau putra-putra mereka,
atau anak laki-laki dari suami-suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki
mereka, anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak
laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau
budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak memiliki
syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat wanita. Dan janganlah
kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui perhiasan yang
tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian
semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk orang-orang yang beruntung.”
Dari
ayat diatas dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu seorang wanita
muslimah hendaknya menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat
kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, wajib bagi wanita untuk menutup auratnya
di depan laki-laki non murihmnya, wajib menutupi perhiasan dan tubuh mereka,
dan wanita hanya boleh memperlihatkan tubuh dan perhiasannya hanya dihadapan
muhrimnya.
Hijab ini tidak hanya sebagai simbol
tetapi juga sebagai identitas seorang muslim. Namun, identitas diri tidak hanya
ditunjukkan dengan cara apa yang kita tampilkan di depan umum, tetapi juga
bagaimana persepsi orang lain dalam memandang kita. Salah satu cara bagaimana
mengetahui dan memahami orang lain dalam memandang kita yaitu dengan cara
melalui media yang ada. Media memiliki kekuatan yang besar dalam berperan untuk
mensugesti, mengusulkan, dan membentuk national dan identitas pribadi (Ruby,
2005). Ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Bullock dan Jafri (2000),
Jafri (1998), dan Kutty (1997) yang menunjukkan tentang media di Amerika Utara
terlalu sering menggambarkan image mengenai wanita muslimah yang tertindas.
Menurut media, mengenakan hijab terlihat begitu kuat untuk menindas wanita
muslimah, dan mayoritas artikel mengenai hijab menduga bahwa hijab merupakan
bentuk untuk menaklukan wanita muslimah. Contoh media yang memberikan
stereotipe negatif ini adalah: “Wearing a
uniform of oppression” (The Globe and
Mail, 1993), “Women’s legacy of pain” (Toronto Star, 1997), “The new law: Wear the veil and stay alive” (The Globe and Main, 1994), “Lifting the veil of
ignorance” (Toronto Star, 1996) (Bullock & Jafri, 2000; Jafri,
1998).
Ada beberapa kejadian spesifik di
salah satu wilayah Amerika yaitu di Canada yang mendukung media dimana tidak
memberi toleransi tentang hijab. Di Montreal pada tahun 1994, siswa dipulangkan
ke rumah oleh pihak sekolah karena mengenakan hijab (Shakeri, 2000). Persis
dengan kejadian yang sama pada tahun 1995 di Quebec seluruh guru yang ada di
sana melarang untuk berhijab di sekolah (Shakeri, 2000). Diskriminasi terhadap
siswa yang mengenakan hijab tidak hanya ada di Motreal dan Quebec, bahkan di
Saskatoon juga mengalami hal yang sama (Ruby, 2005). Stereotipe negatif
terhadap hijab makin mencuat semenjak New York diserang pada tahun 2001 dan
semenjak itu hijab diindetikan dengan wanita teroris.
Meskipun hijab begitu buruk di mata
orang Amerika, tetapi masih banyak yang tetap memutuskan untuk berhijab.
Berbeda dengan yang ada di Amerika, di London hijab merupakan suatu fenomena
yang dapat diterima oleh masyarakat London. Meskipun pada saat ada itu ada
konferensi yang membahas tentang penolakan untuk mengenakan hijab di Eropa,
tetapi tidak untuk di London karena hukum yang ada di London bersifat toleransi
dan masyarakat London menerima perbedaan yang ada disekitar (Tarlo, 2007). Di
London, hijab merupakan suatu hal yang populer di antara masyarakat kelas
menengah. Beberapa wanita di London mulai memutuskan untuk mengenakan hijab.
Tidak hanya karena trans budaya yang menyebabkan mereka bertindak demikian,
tetapi juga karena ada faktor lain seperti jatuh cinta kepada orang, bertahan
hidup dari suatu penyakit, mendatangi pertemuan antar orang Arabic, dan bekerja
bersama imigran yang berasal dari negara yang berbeda.
Wanita
di London memutuskan untuk berhijab lebih dipengaruhi oleh relasi sosial. Salah
satunya adalah partisipan yang bernama Loraine (Tarlo, 2007). Pada saat ia
berusia 17 tahun ia bertemu dan jatuh cinta kepada laki-laki muslim yang
bernama Gurajati Kenyan yang berasal dari Inggris. Kekasih Loraine adalah
laki-laki yang sangat religious, ia selalu rajin untuk sholat jumat dan
berpuasa. Tidak hanya itu, Loraine juga bertemu dengan keluarga kekasihnya dan
ia begitu tertarik dengan seorang perempuan yang begitu menemuki agamanya. Ia pun
mulai mencari informasi mengenai islam lewat membaca buku, mencarinya di
internet, dan menghadiri kelompok interaksi antar wanita muslimah yang ada di
kampusnya. Loraine begitu antusias dan pada tahun 2004, Loraine memutuskan
untuk menjadi muslim dan mengenakan hijab seutuhnya. Semenjak itu, ia menemukan
arti hidup yang baru.
Dari cerita partisipan yang bernama
Loraine, ia menemukan suatu perubahan atas karena apa yang ia amati dari orang
terdekatnya. Hasil dari pengamatan tersebut yang merupakan salah satu bentuk
dari pengalaman yang pada akhirnya seseorang memutuskan untuk mengenakan hijab.
QUESTION???
Rumusan masalah pada penelitian ini
adalah “Bagaimana proses yang dialami pada seseorang sehingga akhirnya
memutuskan untuk mengenakan hijab?”.
RESEARCH METHOD
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif. Tipe dalam penelitian ini merupakan tipe penelitian studi kasus,
yaitu mempelajari fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi
(bounded context) meskipun terkadang
batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2005).
WHO???
Partisipan dalam penelitian ini hanya satu orang.
Partisipan berusia 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan jenjang S1 di salah
satu perguruan tinggi yang ada di kota Surabaya.
RESULT
Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil wawancara
dengan partisipan mengenai proses dari keputusan:
Interviwer
|
Interviewee
|
Keterangan
|
Sudah
mengenakan hijab berapa lama?
|
Kurang lebih
sudah 3 bulan.
|
Partisipan
telah mengenakan hijab selama kurang lebih 3 bulan
|
Apa alasan
dulu menunda mengenakan hijab?
|
Karena menurut
saya untuk berhijab tidak hanya menutupi kepala, tetapi juga menjaga ucapan
dan perilaku. Pada saat itu saya masih belum mampu untuk itu.
|
Alasan
partisipan untuk enggan mengenakan hijab sebelumnya
|
Lalu apa yang
menyebabkan anda mengenakan hijab?
|
Awal mula saya
mengenakan hijab karena saya pada saat itu sedang ditimpa masalah.
|
Latar belakang
mengenakan hijab
|
Coba ceritakan
masalah tersebut
|
Pada saat itu
saya tiba-tiba dilamar oleh seorang laki-laki yang belum begitu saya kenal.
Saya bingung bagaimana menjawab lamaran tersebut. Berdiskusi dengan keluarga
itu tidak cukup bagi saya. Tidak tahu mengapa di dalam hati saya ingin
beribadah dengan Tuhan. Lalu saya berdoa dan bernazar. Jika keputusan ini
baik untuk saya, maka saya akan mulai berubah dan berhijab
|
Proses
memutuskan untuk berhijab
|
Lalu setelah
anda menjawab lamaran dari laki-laki tersebut, apa yang anda lakukan?
|
Saya menerima
lamaran laki-laki tersebut dan akhirnya saya berhijab. Untuk berhijab tentu
tidak langsung begitu saja. Saya pun berbicara dengan orang tua saya mengenai
niat saya tersebut. Keputusan saya untuk berhijab pun diterima dan didukung
sepenuhnya. Saya pun diajari bagaimana mengenakan hijab, dibelikan beberapa
hijab, dan mulai mengenakan baju yang tidak begitu ketat.
|
Proses untuk
berhijab
|
Dampak apa
yang anda rasakan setelah memutuskan untuk berhijab?
|
Saya merasa
dilindungi dengan pakaian yang tertutup seperti ini. Saya mulai merasa batin
ini menjadi tenang, lebih ikhlas dan sabar, bisa menerima kritik orang lain.
Itensitas ibadah saya juga bertambah, yang dulunya bisa dikatakan saya tidak
pernah beribadah, sekarang saya mulai rajin beribadah.
|
Perubahan
positif yang dirasakan oleh partisipan
|
DISCUSSION
Psikologi positif berakar dari
psikologi humanisme yang pembahasannya berfokus pada kebermaknaan dan
kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi isu utama yang didiskusikan dalam psikologi
positif. Banyak hal sebenarnya yang menjadi faktor kebahagiaan seseorang
seperti harta, pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, agama, dan rasa
syukur. Dalam penelitian ini, agama merupakan faktor yang menyebabkan seseorang
menjadi lebih bahagia dan bermakna. Meskipun aliran psikoanalisa dan
behaviorisme menganggap agama adalah hanya ilusi dan perilaku takhayul,
pandangan-pandangan negatif tersebut hilang tidak lama kemudian. Justru orang
yang beragama relatif lebih optimis dalam menjalani kehidupan dan memiliki
harapan untuk terus berkembang. Di Indonesia sendiri berkembang penelitian
mengenai pengaruh kehidupan beragama terhadap kebermaknaan hidup dan
kebahagiaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas agama
seseorang, maka semakin bermakna dan bahagia hidupnya.
CONCLUSION
Kesimpulan dari penelitian ini
adalah peristiwa awal mulanya partisipan memutuskan untuk berhijab ketika ia
mulai menghadapi masalah yang orang disekitarnya tidak dapat membantunya.
Ketika ia merasa tidak mendapatkan jawaban, ia pun merasakan ada dorongan untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tidak hanya itu, ia pun bernazar
untuk berhijab yang sebelumnya partisipan enggan untuk berhijab lantaran masih
tidak dapat menjaga perilaku dan ucapannya. Semenjak ia berhijab, ia pun mulai
untuk rajin beribadah dan ia pun merasakan hal positif yang berkembang di dalam
dirinya yaitu menjadi lebih tenang, lebih sabar, dan bisa menerima kritikan
dari orang lain.
LIMITATION
Kekurangan dari penelitian ini
adalah peneliti kurang menggali lebih mendalam mengenai bagaimana respon
lingkungan ketika partisipan telah menjadi seseorang yang lebih beragama
dibanding sebelumnya.
REFERENCE
Beik, R. A., (2007). Hijab dalam syariat islam. Diakses pada
tanggal 10 Oktober 2014 melalui http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/044.htm
Cacioppo, J. T.,
Hawkley, L. C., Rickett, E. M., Masi, C. M. (2005). Sociality, Spirituality, and Meaning Making: Chicago Health, Aging, and
Social Relations Study, Vol 9 (2), 143-155.
Compton, W. C. (2005). Introduction to Positive psychology.
Thomson Wadsworth.
Gumiandari, S. (2013). Dimensi Spiritual dalam Psikologi Modern,
1033-1052.
Khan, M. W.
(2001). Spirituality in Islam.
Broklyn: Goodword books.
Ruby, T., F. (2005). Listening to the voices of hijab, 54-66.
Tarlo, E., (2007). Hijab
in London: Metamorphosis, Resonance and Effects. Journal of Material Culture, 12 (2), 131-156.
Taufik. (2012). Positive Psychology: Psikologi Cara Meraih
Kebahagiaan. Surakarta; Universitas Muhamadiyah, Seminar Nasional Psikologi
Islami.