Sunday, December 7, 2014

Psikologi Humanistik UAS GASAL 2014 : Kasus Psikologi Positif (3)

INTRODUCTION
Hijab merupakan suatu kain yang menutupi kepala pada wanita. Hijab juga merupakan suatu simbol yang menandakan bahwa wanita tersebut adalah seorang muslimah. Arti dari hijab memiliki banyak makna di dalam kamus dan di dalam Qur’an. Ada yang mengatakan bahwa hijab merupakan sebuah proteksi yang dapat menjaga seorang wanita dari pelecehan (Beik, 2007). Menurut pengertian lain juga hijab merupakan suatu hal yang dapat mencegah, menghindar, atau menghalangi dengan cara berkerudung, membungkus, menutupi, atau melindungi karena untuk mencegah pandangan atau perhatian (Lane, 1984). Di dalam Qur’an, konsep mengenai hijab itu sendiri memiliki makna ganda yaitu tidak hanya sebagai pelindungi tetapi juga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan (Ruby, 2005). Di dalam islam, mengenakan hijab bagi wanita yang telah akil baligh merupakan hal yang wajib. Sesuai dengan apa yang dikatakan di dalam Qur’an yaitu surat an-Nur ayat 31:
(Wahai Rasulullah) Dan katakanlah kepada kaum wanita yang beriman  agar mereka menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak darinya. Hendaknya mereka menutupkan kerudung mereka ke dada mereka (sehingga dada mereka tertutupi), janganlah menampakkan perhiasan mereka kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari suami-suami mereka atau putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari suami-suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau budak-budak mereka atau laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak memiliki syahwat atau anak kecil yang tidak paham terhadap aurat wanita. Dan janganlah kalian mengeraskan langkah kaki kalian sehingga diketahui perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya kalian termasuk orang-orang yang beruntung.”

Dari ayat diatas dapat disimpulkan beberapa poin penting yaitu seorang wanita muslimah hendaknya menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada laki-laki yang bukan muhrimnya, wajib bagi wanita untuk menutup auratnya di depan laki-laki non murihmnya, wajib menutupi perhiasan dan tubuh mereka, dan wanita hanya boleh memperlihatkan tubuh dan perhiasannya hanya dihadapan muhrimnya.
            Hijab ini tidak hanya sebagai simbol tetapi juga sebagai identitas seorang muslim. Namun, identitas diri tidak hanya ditunjukkan dengan cara apa yang kita tampilkan di depan umum, tetapi juga bagaimana persepsi orang lain dalam memandang kita. Salah satu cara bagaimana mengetahui dan memahami orang lain dalam memandang kita yaitu dengan cara melalui media yang ada. Media memiliki kekuatan yang besar dalam berperan untuk mensugesti, mengusulkan, dan membentuk national dan identitas pribadi (Ruby, 2005). Ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh Bullock dan Jafri (2000), Jafri (1998), dan Kutty (1997) yang menunjukkan tentang media di Amerika Utara terlalu sering menggambarkan image mengenai wanita muslimah yang tertindas. Menurut media, mengenakan hijab terlihat begitu kuat untuk menindas wanita muslimah, dan mayoritas artikel mengenai hijab menduga bahwa hijab merupakan bentuk untuk menaklukan wanita muslimah. Contoh media yang memberikan stereotipe negatif ini adalah: “Wearing a uniform of oppression” (The Globe and Mail, 1993), “Women’s legacy of pain” (Toronto Star, 1997), “The new law: Wear the veil and stay alive” (The Globe and Main, 1994), “Lifting the veil of ignorance” (Toronto Star, 1996) (Bullock & Jafri, 2000; Jafri, 1998).
            Ada beberapa kejadian spesifik di salah satu wilayah Amerika yaitu di Canada yang mendukung media dimana tidak memberi toleransi tentang hijab. Di Montreal pada tahun 1994, siswa dipulangkan ke rumah oleh pihak sekolah karena mengenakan hijab (Shakeri, 2000). Persis dengan kejadian yang sama pada tahun 1995 di Quebec seluruh guru yang ada di sana melarang untuk berhijab di sekolah (Shakeri, 2000). Diskriminasi terhadap siswa yang mengenakan hijab tidak hanya ada di Motreal dan Quebec, bahkan di Saskatoon juga mengalami hal yang sama (Ruby, 2005). Stereotipe negatif terhadap hijab makin mencuat semenjak New York diserang pada tahun 2001 dan semenjak itu hijab diindetikan dengan wanita teroris.
            Meskipun hijab begitu buruk di mata orang Amerika, tetapi masih banyak yang tetap memutuskan untuk berhijab. Berbeda dengan yang ada di Amerika, di London hijab merupakan suatu fenomena yang dapat diterima oleh masyarakat London. Meskipun pada saat ada itu ada konferensi yang membahas tentang penolakan untuk mengenakan hijab di Eropa, tetapi tidak untuk di London karena hukum yang ada di London bersifat toleransi dan masyarakat London menerima perbedaan yang ada disekitar (Tarlo, 2007). Di London, hijab merupakan suatu hal yang populer di antara masyarakat kelas menengah. Beberapa wanita di London mulai memutuskan untuk mengenakan hijab. Tidak hanya karena trans budaya yang menyebabkan mereka bertindak demikian, tetapi juga karena ada faktor lain seperti jatuh cinta kepada orang, bertahan hidup dari suatu penyakit, mendatangi pertemuan antar orang Arabic, dan bekerja bersama imigran yang berasal dari negara yang berbeda.
Wanita di London memutuskan untuk berhijab lebih dipengaruhi oleh relasi sosial. Salah satunya adalah partisipan yang bernama Loraine (Tarlo, 2007). Pada saat ia berusia 17 tahun ia bertemu dan jatuh cinta kepada laki-laki muslim yang bernama Gurajati Kenyan yang berasal dari Inggris. Kekasih Loraine adalah laki-laki yang sangat religious, ia selalu rajin untuk sholat jumat dan berpuasa. Tidak hanya itu, Loraine juga bertemu dengan keluarga kekasihnya dan ia begitu tertarik dengan seorang perempuan yang begitu menemuki agamanya. Ia pun mulai mencari informasi mengenai islam lewat membaca buku, mencarinya di internet, dan menghadiri kelompok interaksi antar wanita muslimah yang ada di kampusnya. Loraine begitu antusias dan pada tahun 2004, Loraine memutuskan untuk menjadi muslim dan mengenakan hijab seutuhnya. Semenjak itu, ia menemukan arti hidup yang baru.
            Dari cerita partisipan yang bernama Loraine, ia menemukan suatu perubahan atas karena apa yang ia amati dari orang terdekatnya. Hasil dari pengamatan tersebut yang merupakan salah satu bentuk dari pengalaman yang pada akhirnya seseorang memutuskan untuk mengenakan hijab.

QUESTION???
            Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana proses yang dialami pada seseorang sehingga akhirnya memutuskan untuk mengenakan hijab?”.

RESEARCH METHOD
            Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Tipe dalam penelitian ini merupakan tipe penelitian studi kasus, yaitu mempelajari fenomena khusus yang hadir dalam suatu konteks yang terbatasi (bounded context) meskipun terkadang batas antara fenomena dan konteks tidak sepenuhnya jelas (Poerwandari, 2005).

WHO???
            Partisipan dalam penelitian ini hanya satu orang. Partisipan berusia 20 tahun dan sedang menempuh pendidikan jenjang S1 di salah satu perguruan tinggi yang ada di kota Surabaya.

RESULT
            Berikut ini adalah kesimpulan dari hasil wawancara dengan partisipan mengenai proses dari keputusan:

Interviwer
Interviewee
Keterangan
Sudah mengenakan hijab berapa lama?
Kurang lebih sudah 3 bulan.
Partisipan telah mengenakan hijab selama kurang lebih 3 bulan
Apa alasan dulu menunda mengenakan hijab?
Karena menurut saya untuk berhijab tidak hanya menutupi kepala, tetapi juga menjaga ucapan dan perilaku. Pada saat itu saya masih belum mampu untuk itu.
Alasan partisipan untuk enggan mengenakan hijab sebelumnya
Lalu apa yang menyebabkan anda mengenakan hijab?
Awal mula saya mengenakan hijab karena saya pada saat itu sedang ditimpa masalah.
Latar belakang mengenakan hijab
Coba ceritakan masalah tersebut
Pada saat itu saya tiba-tiba dilamar oleh seorang laki-laki yang belum begitu saya kenal. Saya bingung bagaimana menjawab lamaran tersebut. Berdiskusi dengan keluarga itu tidak cukup bagi saya. Tidak tahu mengapa di dalam hati saya ingin beribadah dengan Tuhan. Lalu saya berdoa dan bernazar. Jika keputusan ini baik untuk saya, maka saya akan mulai berubah dan berhijab
Proses memutuskan untuk berhijab
Lalu setelah anda menjawab lamaran dari laki-laki tersebut, apa yang anda lakukan?
Saya menerima lamaran laki-laki tersebut dan akhirnya saya berhijab. Untuk berhijab tentu tidak langsung begitu saja. Saya pun berbicara dengan orang tua saya mengenai niat saya tersebut. Keputusan saya untuk berhijab pun diterima dan didukung sepenuhnya. Saya pun diajari bagaimana mengenakan hijab, dibelikan beberapa hijab, dan mulai mengenakan baju yang tidak begitu ketat.
Proses untuk berhijab
Dampak apa yang anda rasakan setelah memutuskan untuk berhijab?
Saya merasa dilindungi dengan pakaian yang tertutup seperti ini. Saya mulai merasa batin ini menjadi tenang, lebih ikhlas dan sabar, bisa menerima kritik orang lain. Itensitas ibadah saya juga bertambah, yang dulunya bisa dikatakan saya tidak pernah beribadah, sekarang saya mulai rajin beribadah.
Perubahan positif yang dirasakan oleh partisipan

DISCUSSION
            Psikologi positif berakar dari psikologi humanisme yang pembahasannya berfokus pada kebermaknaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan menjadi isu utama yang didiskusikan dalam psikologi positif. Banyak hal sebenarnya yang menjadi faktor kebahagiaan seseorang seperti harta, pernikahan, kehidupan sosial, usia, kesehatan, agama, dan rasa syukur. Dalam penelitian ini, agama merupakan faktor yang menyebabkan seseorang menjadi lebih bahagia dan bermakna. Meskipun aliran psikoanalisa dan behaviorisme menganggap agama adalah hanya ilusi dan perilaku takhayul, pandangan-pandangan negatif tersebut hilang tidak lama kemudian. Justru orang yang beragama relatif lebih optimis dalam menjalani kehidupan dan memiliki harapan untuk terus berkembang. Di Indonesia sendiri berkembang penelitian mengenai pengaruh kehidupan beragama terhadap kebermaknaan hidup dan kebahagiaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas agama seseorang, maka semakin bermakna dan bahagia hidupnya.

CONCLUSION
            Kesimpulan dari penelitian ini adalah peristiwa awal mulanya partisipan memutuskan untuk berhijab ketika ia mulai menghadapi masalah yang orang disekitarnya tidak dapat membantunya. Ketika ia merasa tidak mendapatkan jawaban, ia pun merasakan ada dorongan untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Tidak hanya itu, ia pun bernazar untuk berhijab yang sebelumnya partisipan enggan untuk berhijab lantaran masih tidak dapat menjaga perilaku dan ucapannya. Semenjak ia berhijab, ia pun mulai untuk rajin beribadah dan ia pun merasakan hal positif yang berkembang di dalam dirinya yaitu menjadi lebih tenang, lebih sabar, dan bisa menerima kritikan dari orang lain.

LIMITATION
            Kekurangan dari penelitian ini adalah peneliti kurang menggali lebih mendalam mengenai bagaimana respon lingkungan ketika partisipan telah menjadi seseorang yang lebih beragama dibanding sebelumnya.

REFERENCE 
Beik, R. A., (2007). Hijab dalam syariat islam. Diakses pada tanggal 10 Oktober 2014 melalui http://www.al-shia.org/html/id/service/maqalat/044.htm
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Rickett, E. M., Masi, C. M. (2005). Sociality, Spirituality, and Meaning Making: Chicago Health, Aging, and Social Relations Study, Vol 9 (2), 143-155.
Compton, W. C. (2005). Introduction to Positive psychology. Thomson Wadsworth.
Gumiandari, S. (2013). Dimensi Spiritual dalam Psikologi Modern, 1033-1052.
Khan, M. W. (2001). Spirituality in Islam. Broklyn: Goodword books.
Ruby, T., F. (2005). Listening to the voices of hijab, 54-66.
Tarlo, E., (2007). Hijab in London: Metamorphosis, Resonance and Effects. Journal of Material Culture, 12 (2), 131-156.
Taufik. (2012). Positive Psychology: Psikologi Cara Meraih Kebahagiaan. Surakarta; Universitas Muhamadiyah, Seminar Nasional Psikologi Islami.


0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.