Halo.. Selamat siang, good afternoon, shang wu hao, konichiwa, guten tag..
Siang ini aku mau mempost refleksi diri materi Hubungan Antar Person yang keempat dan kelima. Karena satu tipe maka aku jadikan 1 postingan.
Mohon dibaca dan dikomentari yaa...
========================================================================
Hai, namaku Dina Permata Sari. Keluargaku biasa memanggilku Ayi dan teman-temanku atau orang luar lainnya memanggilku Dina. Bulan Januari yang lalu, tepatnya tanggal 16 aku mulai menginjak usia 21 tahun. Bukan usia yang muda lagi, melainkan usia yang mulai menginjak kematangan dalam berpikir, pribadi, dan bertindak. Saat ini aku tengah menempuh semester 8 di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya. Peminatan yang aku ambil adalah psikologi klinis.
Aku terlahir di kota Padang, Sumatra Barat. Dari bayi sampai aku lulus SMP aku disana dan ketika aku memasuki SMA aku pindah ke Palembang, Sumatra Selatan. Well, sebenarnya nggak begitu beda orang Padang dengan orang Palembang, yang membedakan hanyalah bahasa dan tingkat kekasaran dalam berbicara. Aku sempat shock tinggal di Palembang. Mereka berbicara ketus, terkesan menyentak menurut pendengaranku.
Cukup setahun lamanya aku mulai terbiasa dengan itu semua. Aku bisa mengikuti alur mereka. Ditambah lagi aku sempat berpacaran dengan orang Palembang. Pada awalnya sering kami terjadi kesalahpahaman. Maksudnya ia tidak bermaksud menyentakku, tapi aku ngerasa aku sedang dibentaknya. Hingga akhirnya aku pun terbiasa mendengar suara mereka yang keras, terkesan mendominasi, dan tutur katanya yang sedikit terdengar kasar. Aku bisa mengerti karena teman-temanku juga demikian, pacar teman-temanku juga demikian, dan guru di sekolahku pun juga demikian. Tetapi sayangnya hanya 1, mereka tidak bisa menerima bagaimana bentuk wajahku. Aku sudah terlahir dengan wajah yang tidak ramah. Bukan berarti aku tidak pernah tersenyum. Aku orangnya senang tersenyum, tetapi ketika sendirian, sedang serius, atau sedang memperhatikan guru menerangkan, aku terlihat sedang mengintimidasi mereka (menurut mereka). Sedih rasanya.. Bahkan aku sempat dua kali dipermalukan di depan kelas oleh guru yang sama. Awalnya aku biasa saja dipermalukan olehnya, bahkan sempat diusir dari kelas karena wajahku. Tapi lama kelamaan teman-teman baikku mau memberitahuku bahwa aku harus rajin tersenyum. Maka aku pelan-pelan berubah, mau tersenyum sendiri meskipun sedikit dipaksakan. Dipermalukan yang kedua pada saat aku kelas tiga. Aku terlambat masuk kelas karena aku kehilangan kunci loker untuk mengambil buku. Maka aku ke kelas sebelah untuk meminjam buku. Saat aku masuk kelas, aku mengetuk, meminta maaf karena telat, dan tidak lupa senyuman. Bukan kalimat yang enak aku dengar, melainkan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati aku. Di depan kelas aku dibilang "Rai kau busuk! Aku dak seneng samo kau ado di kelas aku! Dak katek senyumnyo!". Tersentak dibuatnya. Aku terdiam. temenku membelaku, ia mengatakan bahwa aku ada tersenyum di depannya, tapi guruku membantah. "Dak usah kau bela dio! Rai busuk cak itu dak katek senyumnyo di depan aku!". Aku cuma bisa menunduk. Aku cuma bisa menangis. Aku cuma bisa berdiam diri. Dan aku cuma bisa bersabar...
Lulus dari SMA, aku melanjutkan sekolah di Surabaya. Beda suasana, beda budaya, beda karakter orangnya. Di sini, aku berusaha menjadi orang yang baru. Seseorang yang mau tersenyum, seseorang yang ramah dalam bertutur kata, seseorang yang lebih tenang dalam berbicara. Tapi ternyata sama saja. Aku tetap dinilai orang yang jutek dan kalau berbicara kasar. Orang-orang sering salah paham dengan nada bicaraku. Aku sampai heran katanya orang Surabaya adalah orang yang kasar, tetapi kenapa kalau aku berbicara mereka langsung mengatakan "Wah, si Dina kasar"?
Well, sebenarnya aku nggak begitu percaya dengan slogan "Wong Suroboyo itu kasar", soalnya aku ngelihat teman-temanku kalau berbicara sama temen perempuan, nada bicara mereka lebih pelan dan halus. Beda dengan cowok Palembang yang terkesan mengintimidasi perempuan dengan nada yang kasar dan keras. Aku juga beruntung sekarang pacaran dengan orang Jawa:). Dia nggak pernah kasar sama aku dan sangaaaaat penyabar. hahaha
Sejak aku pacaran dengan pacarku ini, hari-hariku kembali suram. Aku dibilang nggak sopan sama teman-temannya karena wajahku yang terkesan tidak ramah. Gara-gara itu aku sempat bertengkar dengan pacarku. Dia memaksaku untuk berubah. Aku sudah bilang bahwa aku pelan-pelan mulai berubah. Aku sudah merubah diriku sejak SMA dulu. Ini sudah bawaan fisik aku, gimana aku bisa berubah lagi? Apa aku harus operasi plastik?
Pulang dari pertengkaran itu aku menangis dan mengadu ke mamaku. "Kenapa hidupku terasa tidak adil? Kenapa Allah memberiku wajah yang jutek? Padahal aku udah mulai merubah pelan-pelan dengan rajin tersenyum. Kenapa aku terlahir dengan nada bicara yang terdengar ketus dan keras? Padahal aku sudah mulai pelan-pelan berbicara tenang dan satun. Kenapa?". Mamaku mengatakan padaku, "Siapa pun kamu jadilah dirimu sendiri, berubah menjadi lebih baik itu bagus, tapi berubah menjadi orang lain itu tidak baik. Bersyukurlah kamu dilahirkan seperti ini, dengan begini kamu bisa menemukan siapa orang yang benar-benar mengerti dan tulus berteman sama kamu. Cuek saja dengan mereka yang suka menghina tanpa membantumu membenah diri."
Setelah dikasih tahu mamaku begitu, rasanya hati ini plong. Ditambah lagi mamaku memanggil pacarku ke rumah untuk membicarakan seperti apa diriku ini. Untungnya pacarku bisa mengerti bagaimana aku ini. Watak asliku memanglah yang seperti ini. Aura wajahku memanglah seperti ini. Aku tidak bermaksud kasar, tidak bermaksud membuat wajahku menjadi jutek. Aku orangnya suka berteman, suka tertawa, suka tersenyum, mungkin memang sudah karakter wajahku dan nada bicaraku yang seperti ini.
Tidak lama kemudian, baru saja semester 6 yang lalu, salah satu dosen klinis membicarakanku di depan anak-anak magang UPP. Dia mengatakan "Si Dina itu nggak bisa senyum? Males aku lihat wajahnya tiap di kelas". Aku mendapat laporan dari temanku yang juga magang UPP. Baru saja hari itu dibicarakan langsung disampaikan ke aku. Aku hanya bisa tertawa. Aku sudah tidak peduli. Cukup tahu saja seorang dosen yang sudah berprofesi psikolog dan selalu menggembor-gemborkan kata "Individual Differences" malah asal menjugde dari wajahnya saja.
Aku mulai terbiasa dengan semua ini. Orang-orang banyak mengira aku jutek dan kasar, aku sudah tidak begitu mempedulikannya. Memang sudah jadi label diriku begitu. Tetapi setidaknya aku memiliki teman yang benar-benar tulus dan mengerti siapa diriku walaupun hanya segelintir..
Siang ini aku mau mempost refleksi diri materi Hubungan Antar Person yang keempat dan kelima. Karena satu tipe maka aku jadikan 1 postingan.
Mohon dibaca dan dikomentari yaa...
========================================================================
Hai, namaku Dina Permata Sari. Keluargaku biasa memanggilku Ayi dan teman-temanku atau orang luar lainnya memanggilku Dina. Bulan Januari yang lalu, tepatnya tanggal 16 aku mulai menginjak usia 21 tahun. Bukan usia yang muda lagi, melainkan usia yang mulai menginjak kematangan dalam berpikir, pribadi, dan bertindak. Saat ini aku tengah menempuh semester 8 di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya. Peminatan yang aku ambil adalah psikologi klinis.
Aku terlahir di kota Padang, Sumatra Barat. Dari bayi sampai aku lulus SMP aku disana dan ketika aku memasuki SMA aku pindah ke Palembang, Sumatra Selatan. Well, sebenarnya nggak begitu beda orang Padang dengan orang Palembang, yang membedakan hanyalah bahasa dan tingkat kekasaran dalam berbicara. Aku sempat shock tinggal di Palembang. Mereka berbicara ketus, terkesan menyentak menurut pendengaranku.
Cukup setahun lamanya aku mulai terbiasa dengan itu semua. Aku bisa mengikuti alur mereka. Ditambah lagi aku sempat berpacaran dengan orang Palembang. Pada awalnya sering kami terjadi kesalahpahaman. Maksudnya ia tidak bermaksud menyentakku, tapi aku ngerasa aku sedang dibentaknya. Hingga akhirnya aku pun terbiasa mendengar suara mereka yang keras, terkesan mendominasi, dan tutur katanya yang sedikit terdengar kasar. Aku bisa mengerti karena teman-temanku juga demikian, pacar teman-temanku juga demikian, dan guru di sekolahku pun juga demikian. Tetapi sayangnya hanya 1, mereka tidak bisa menerima bagaimana bentuk wajahku. Aku sudah terlahir dengan wajah yang tidak ramah. Bukan berarti aku tidak pernah tersenyum. Aku orangnya senang tersenyum, tetapi ketika sendirian, sedang serius, atau sedang memperhatikan guru menerangkan, aku terlihat sedang mengintimidasi mereka (menurut mereka). Sedih rasanya.. Bahkan aku sempat dua kali dipermalukan di depan kelas oleh guru yang sama. Awalnya aku biasa saja dipermalukan olehnya, bahkan sempat diusir dari kelas karena wajahku. Tapi lama kelamaan teman-teman baikku mau memberitahuku bahwa aku harus rajin tersenyum. Maka aku pelan-pelan berubah, mau tersenyum sendiri meskipun sedikit dipaksakan. Dipermalukan yang kedua pada saat aku kelas tiga. Aku terlambat masuk kelas karena aku kehilangan kunci loker untuk mengambil buku. Maka aku ke kelas sebelah untuk meminjam buku. Saat aku masuk kelas, aku mengetuk, meminta maaf karena telat, dan tidak lupa senyuman. Bukan kalimat yang enak aku dengar, melainkan kalimat-kalimat yang menyakitkan hati aku. Di depan kelas aku dibilang "Rai kau busuk! Aku dak seneng samo kau ado di kelas aku! Dak katek senyumnyo!". Tersentak dibuatnya. Aku terdiam. temenku membelaku, ia mengatakan bahwa aku ada tersenyum di depannya, tapi guruku membantah. "Dak usah kau bela dio! Rai busuk cak itu dak katek senyumnyo di depan aku!". Aku cuma bisa menunduk. Aku cuma bisa menangis. Aku cuma bisa berdiam diri. Dan aku cuma bisa bersabar...
Lulus dari SMA, aku melanjutkan sekolah di Surabaya. Beda suasana, beda budaya, beda karakter orangnya. Di sini, aku berusaha menjadi orang yang baru. Seseorang yang mau tersenyum, seseorang yang ramah dalam bertutur kata, seseorang yang lebih tenang dalam berbicara. Tapi ternyata sama saja. Aku tetap dinilai orang yang jutek dan kalau berbicara kasar. Orang-orang sering salah paham dengan nada bicaraku. Aku sampai heran katanya orang Surabaya adalah orang yang kasar, tetapi kenapa kalau aku berbicara mereka langsung mengatakan "Wah, si Dina kasar"?
Well, sebenarnya aku nggak begitu percaya dengan slogan "Wong Suroboyo itu kasar", soalnya aku ngelihat teman-temanku kalau berbicara sama temen perempuan, nada bicara mereka lebih pelan dan halus. Beda dengan cowok Palembang yang terkesan mengintimidasi perempuan dengan nada yang kasar dan keras. Aku juga beruntung sekarang pacaran dengan orang Jawa:). Dia nggak pernah kasar sama aku dan sangaaaaat penyabar. hahaha
Sejak aku pacaran dengan pacarku ini, hari-hariku kembali suram. Aku dibilang nggak sopan sama teman-temannya karena wajahku yang terkesan tidak ramah. Gara-gara itu aku sempat bertengkar dengan pacarku. Dia memaksaku untuk berubah. Aku sudah bilang bahwa aku pelan-pelan mulai berubah. Aku sudah merubah diriku sejak SMA dulu. Ini sudah bawaan fisik aku, gimana aku bisa berubah lagi? Apa aku harus operasi plastik?
Pulang dari pertengkaran itu aku menangis dan mengadu ke mamaku. "Kenapa hidupku terasa tidak adil? Kenapa Allah memberiku wajah yang jutek? Padahal aku udah mulai merubah pelan-pelan dengan rajin tersenyum. Kenapa aku terlahir dengan nada bicara yang terdengar ketus dan keras? Padahal aku sudah mulai pelan-pelan berbicara tenang dan satun. Kenapa?". Mamaku mengatakan padaku, "Siapa pun kamu jadilah dirimu sendiri, berubah menjadi lebih baik itu bagus, tapi berubah menjadi orang lain itu tidak baik. Bersyukurlah kamu dilahirkan seperti ini, dengan begini kamu bisa menemukan siapa orang yang benar-benar mengerti dan tulus berteman sama kamu. Cuek saja dengan mereka yang suka menghina tanpa membantumu membenah diri."
Setelah dikasih tahu mamaku begitu, rasanya hati ini plong. Ditambah lagi mamaku memanggil pacarku ke rumah untuk membicarakan seperti apa diriku ini. Untungnya pacarku bisa mengerti bagaimana aku ini. Watak asliku memanglah yang seperti ini. Aura wajahku memanglah seperti ini. Aku tidak bermaksud kasar, tidak bermaksud membuat wajahku menjadi jutek. Aku orangnya suka berteman, suka tertawa, suka tersenyum, mungkin memang sudah karakter wajahku dan nada bicaraku yang seperti ini.
Tidak lama kemudian, baru saja semester 6 yang lalu, salah satu dosen klinis membicarakanku di depan anak-anak magang UPP. Dia mengatakan "Si Dina itu nggak bisa senyum? Males aku lihat wajahnya tiap di kelas". Aku mendapat laporan dari temanku yang juga magang UPP. Baru saja hari itu dibicarakan langsung disampaikan ke aku. Aku hanya bisa tertawa. Aku sudah tidak peduli. Cukup tahu saja seorang dosen yang sudah berprofesi psikolog dan selalu menggembor-gemborkan kata "Individual Differences" malah asal menjugde dari wajahnya saja.
Aku mulai terbiasa dengan semua ini. Orang-orang banyak mengira aku jutek dan kasar, aku sudah tidak begitu mempedulikannya. Memang sudah jadi label diriku begitu. Tetapi setidaknya aku memiliki teman yang benar-benar tulus dan mengerti siapa diriku walaupun hanya segelintir..
0 comments:
Post a Comment